Cendana Mahardika; Bagian Satu

Rula
9 min readJun 4, 2023

--

Cinta,

Tak lagi ku jumpai malam yang ramai

Tak lagi ku jumpai warna-warna baru

Tak lagi ku jumpai dirimu

Pagi diawali dengan cerahnya matahari yang terik menerangi bumi. Namaku Cendana Mahardika, aku adalah anak dari ayah dan ibukku, mereka bernama Mahmoud dan Lestari. Aku tinggal di Jakarta, kalian tak perlu tahu tepatnya dimana. Saat ini aku sedang memperhatikan gadis cantik yang menarik perhatianku sejak lima bulan yang lalu. Wajahnya yang rupawan, suaranya yang lembut dan mendayu-dayu, senyumnya yang melemahkan hatiku, dia sangat-sangat mendekati sempurna. Tentunya aku tak bisa bilang dia seratus persen sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Tuhan. Duh, kalau Gusti tahu aku sedang memperhatikan gadis itu lagi, mungkin aku sudah ditempeleng olehnya!

“Halo, Jelita.” Sapaku dengan senyum lebar.

Gadis yang kusapa itu hanya melirik sedikit dan kembali melanjutkan percakapan dengan teman-temannya.

“Gadisssss oh gadisssss! Jelita! Indah sekali namamu gadissss!” Racauku tak jelas hanya demi mendapat sedikit perhatian darinya.

Rupa-rupanya si gadis sudah kesal kepadaku dan dengan suara yang bernada tinggi dia berbicara,

“Berhenti memanggilku dengan sebutan Jelita! Namaku bukan Jelita, kamu tahu itu.”

Aku hanya tertawa senang karena berhasil membuatnya berbicara padaku, meskipun harus membuatnya marah dahulu, sih.

“Gadisss! Aku ingin membacakan kalimat-kalimat puisi romantis kepadamuuuu, jangan tolak aku, Gadissssss oh gadissss.” Teriakku dengan tak tahu malu. Sungguh, kalau saja Gusti berada di sini, dia pasti akan menyeretku pulang.

Si gadis melihatku, tampak siap untuk mendengarkan aku membaca puisi. Aku tahu dia selalu suka suaraku saat membacakan puisi, terlebih lagi jika puisi buatanku. Tapi pagi ini, aku tak akan membawakan puisiku.

Aku membuka kertas yang kulipat dari saku celana, dan mulai membaca bait-baitnya.

“Aku tidak pernah mengerti,

Banyak orang menghembuskan cinta dan benci

Dalam satu napas.”

“Tapi sekarang aku tahu,

Bahwa cinta dan benci adalah saudara

Yang membodohi kita, memisahkan kita.”

Aku terdiam, menarik napasku dan membacakan bait berikutnya dengan lantang.

“Sekarang aku tahu bahwa,

Cinta harus siap merasakan sakit!

Cinta harus siap untuk kehilangan!

Cinta harus siap untuk terluka!

Cinta harus siap untuk membenci!

Karena itu hanya cinta yang sungguh-sungguh mengizinkan kita

Untuk mengatur semua emosi dalam perasaan.”

“Setiap emosi jatuh… Keluarlah cinta.”

“Sekarang aku mengetahui implikasi dari cinta

Cinta tidak berasal dari hati

Tapi cinta berasal dari jiwa

Dari zat dasar manusia.”

Aku berhenti sejenak mengatur napasku perlahan dan lanjut membacakan bait berikutnya dengan nada rendah,

“Ya, aku senang telah mencintai

Karena dengan melakukan itu aku merasa hidup

Dan tidak ada orang yang dapat merebutnya dariku.”

Aku kembali memasukan kertas tersebut di dalam saku celanaku, dan mengangkat wajahku untuk melihat rupa sang gadis.

“Bagaimana? Bagus, bukan? Sekarang coba kamu tebak judul dan karya siapa puisi tersebut. Kalau kamu berhasil menebak, nanti malam kita akan jalan-jalan. Kalau kamu tidak berhasil, kita tetap akan jalan-jalan.”

Aku tersenyum menyeringai seraya mengatakannya. Si gadis mendengus tak percaya dia tak punya pilihan, tapi apa boleh buat, sebelum-sebelumnya pun juga begini.

“Cinta dan benci oleh Chairil Anwar.”

Tentu saja Jelita dapat menebaknya dengan benar, karena ia juga menyukai puisi.

Tanpa kata apapun lagi, aku berkata dengan lantang kepadanya, “Gadisss akan pergi kencan bersamakuuuuu! Wohoooooo!”

Kembalinya aku dari sekolah, aku bergegas menuju lemari abangku dan membukanya. Mencoba untuk mencocokan baju-baju miliknya di tubuhku. Tanpa peduli abangku akan marah kalau kamarnya berantakan begini.

“Apakah hitam bagus untukku? Oh, tapi jalan-jalannya malam hari…. Nanti malah menyatu dengan kegelapan.”

Sepuluh menit aku mencoba baju-baju abangku, tapi aku pusing karena tak ada pakaian yang cocok untukku.

“Hahhhhhhh kenapa tak ada satupun baju yang cocok untuk aku kenakan!” Sambil tiduran di kasur, aku menggerutu dan berteriak-teriak, semenit kemudian suara pintu terbuka dan aku terduduk dibuatnya.

“Mampus aku.” Ucapku ketika bertatapan dengan abangku yang baru pulang dari kantornya.

Waduh, sial. Aku pasti dimarahi!

Dia mendekat ke arahku, Tama mendekat! Ohhh tidak tidak!

“Apa yang kamu lakukan disini tikus kecil?” Abangku, tama. Kalau sudah menyebutku dengan segala kata-kata binatang itu pasti dia akan marah besar, dan setelah ini pasti aku akan di —

“Berhentiiibzhdejke! Bang! Bang! Sakit! Jeweranmu AAAAAAAAA!!! IBU! BUK TOLONG AKUUU!!!”

Ibu datang dan hanya melihatku yang sekarang sedang dicubit oleh Tama. Kemudian kembali lagi ke dapur tanpa membantuku yang sudah sekarat ini. Akhirnya Tama melepas cubitannya. Aku menatap lenganku yang biru-biru, udah gila ini orang!

“Gila bang! Coba liat ini lenganku biru semua! Belum lagi telingaku yang merah-merah! Gimana bisaaaaaaa aku bertemu Gadis dengan penampilan seperti iniiiiiii.”

Tama melirik, dengan kejamnya dia menjitak kepalaku sampai berbunyi. “Salahmu sendiri mengacak-acak kamarku.” Aku meringis sambil memegangi dahiku yang dijitak.

“Aku kan hanya mau pinjam baju.”

Kataku dengan suara memelas.

Tama cepat-cepat menarik salah satu kemeja berwarna putih terang, “bawa ini dan keluar dari kamarku sekarang.”

Tampaknya dia sudah gumoh melihatku disini. Tapi aku belum dapat celana!

“Celananya belum!”

Tama memberikan satu celana kain warna hitam, sepertinya baru ia beli.

“Sekarang keluar!”

Emang sombong sekali lagaknya ini!

“Tunggu dul–”

“Apalagi?! Kau mau pinjam sempakku juga, hah?!”

Aku segera melarikan diri dari kamarnya sebelum dilempari oleh sempak-sempak miliknya! Ewh! Jijik!

Kencannya berjalan sukses. Aku senang bisa melihat Gadis yang cantik sekali malam ini. Tadinya aku ingin mengajaknya ke pasar malam. Tapi, ternyata aku salah tanggal. Ini semua gara-gara Gusti yang salah memberitahuku. Katanya, hari ini akan ada pasar malam, dia bohong! Jadinya, aku mengajak Gadis untuk jalan-jalan dan kulineran di pinggir jalan. Makan pecel ayam, gulali, kembang tahu, dan lainnya. Kami juga sempat membeli kacang dan jagung sebagai camilan menonton film pendek bersama yang ditayangkan di layar tancap.

Lalu, kami pergi ke toko buku. Dan disinilah aku merasakan patah hati. Penyebabnya adalah salah satu buku catatan yang dibeli Gadis. Aku sedih sekali saat bertanya untuk apa dia membeli buku catatan itu. Memang harusnya tak usah kepo. Ketika dia menjawab buku catatan itu untuk hadiah seseorang, aku bertanya lagi untuk siapa. Lalu dia menjawab, untuk orang yang aku suka. Begitu katanya. Gadis berkata seperti itu tanpa memperhatikan perasaanku saat mendengarnya.

Aku sedih. Aku merasa patah hati yang sedalam-dalamnya. Mungkin kalian bilang aku berlebihan. Tapi coba bayangkan, kalau seandainya kalian menyukai seseorang dan orang itu bilang dia menyukai orang lain? Pasti kalian juga sedih dan patah hati dan kecewa. Duh, gila! Aku jadi enggak waras begini. Kalau Gusti tahu aku sedang melankolis begini pasti aku ditertawakan dan diejek. Huft.

Pada akhirnya aku berusaha untuk tegar menghadapi semua itu. Walaupun sedih sekali. Rasanya aku tidak mau pergi sekolah hari ini. Tapi bisa-bisa aku dicubitin ibukku kalau aku enggak sekolah! Apa boleh buat. Walaupun… Sepertinya aku tidak sanggup kalau harus bertatapan dengan Gadis.

Eh, tunggu. Tunggu dulu. Apa itu? Mataku tidak salah liat, nih? Aku tahu mataku agak rabun, tapi kali ini… Aku tidak salah liat kan?! Si Gadis Jelita menatapku dan menggerakan tangannya untuk menyapaku. Wah, hal langka. Tapi… Aku tidak boleh langsung senang! Kemarin dia baru mematahkan hatiku, dan sekarang masa aku harus memasang ekspresi bahagia?! Tidak akan kubiarkan.

Aku melewati Gadis tanpa menengok ataupun menyapanya seperti biasa. Duh, aku agak tidak tega mengabaikannya seperti ini…. Tapi aku juga gengsi kelessss.

“Dika, tunggu!”

Waduh, Gadis memanggilku.

“Sebentar, Dik. Kamu kenapa sih jalannya cepat sekali?” Tanya Gadis sembari menghadang jalanku menuju kelas.

Aku hanya menaikan alis alih-alih bertanya mengapa dia memanggilku.

“Nih, hadiah untukmu. Ada suratnya di dalam, jangan lupa dibaca.” Gadis memberikan sebuah kotak besar. Aku jadi bertanya-tanya atas dasar apa dia memberiku hadiah seperti ini?

“Makasih. Tapi, atas dasar apa kamu memberiku ini?”

“Anggap saja aku memberimu hadiah ulang tahun yang terlewat, jangan lupa dibaca suratnya. Daah.” Gadis berlarian kembali menuju temannya.

Dan aku yang bingung di sini hanya terbengong-bengong setelah tahu aku dapat hadiah dari orang yang kusuka. Apakah aku boleh geer?

Setelah berada di kelas, aku buru-buru membuka kotak kado itu. Sebelum kembali menutupnya dan membukanya kembali dengan cepat sembari melirik kanan-kiri layaknya menemukan bom di dalam kotak.

Wah, aku rasa aku boleh geer.

Bagaimana tidak? Barang yang ada di kotak itu… Adalah beberapa kumpulan buku-buku yang sedang aku incar belakangan ini. Dan juga, astaga! Ada kaset film juga. Dan apa itu? Aku rasa di balik kertas minyak yang sebagai alas kotak ini masih ada barang, dan saat aku membuka kertas minyak itu yang aku temukan adalah buku catatan yang dibeli Gadis kemarin!

Wah. Jelas-jelas aku masih ingat ucapannya saat mengatakan dia akan memberikan buku catatan itu kepada seseorang yang dia suka. Apakah orang itu adalah aku? Aku… Rasanya ingin teriak.

“Apa, nih?” Gusti mengambil sebuah kertas yang berada di pinggir kotak. “Aku buka ya.”

Aku memelototkan mataku, itu suratnya!

“Jangan!” Kataku sambil mengambil surat tersebut darinya. Dan mencoba mengusir Gusti jauh-jauh supaya tak melihat isi suratku. Setelah Gusti menghilang dari pandanganku, aku mulai membaca surat tersebut dengan pelan.

Maret, 15

Halo, Dika. Cendana Mahardika. Aku suka sekali namamu. Nama yang bagus. Sebelumnya aku tak pernah terpikir untuk membuat surat-surat seperti ini untukmu. Tapi aku teringat ketika kamu membacakan surat cinta Sutan Sjahrir untuk istrinya, Maria Duchateau.

Maka, karena itu aku membuat surat ini. Tak tahu kau akan menyebutnya surat cinta atau bukan. Omong-omong aku bukanlah orang yang pintar bermain kata sepertimu. Jadi, ku harap kamu tidak masalah dengan kalimat-kalimatku yang mungkin berantakan.

Kita saling mengenal lima bulan lalu. Mungkin, kamu akan mengira begitu. Lima bulan lalu adalah waktumu. Sedangkan di waktuku berbeda. Aku mengenalmu satu tahun yang lalu, ketika kita masih menjadi anak kelas satu menengah atas. Waktu itu, kamu dengan hebohnya menaiki sepedamu ke sekolah karena kamu mengira terlambat. Kamu berisik sekali waktu itu, terus berbicara minggir-minggir pada tiap orang yang lewat. Dan ketika itu, kamu mendorongku dengan sepedamu. Kebayang kan sakitnya seperti apa? Lututku berdarah karena aku jatuh di lapangan yang penuh bebatuan kasar. Dan kamu bahkan tidak menoleh sama sekali untuk meminta maaf. Kamu mungkin sekarang juga lupa akan kejadian itu.

Karena kejadian itu, aku jadi terus mengingatmu. Tepatnya, aku dendam sekali. Kamu sangat menyebalkan di mataku waktu itu, sekarang juga sama, sih. Intinya begitu. Terus kamu bertemu denganku lima bulan lalu. Aku masih ingat rupamu. Lalu… kamu terus mengajakku untuk mengobrol denganmu. Padahal, jelas-jelas aku sudah memberikan tatapan risih. Tetapi, kamu tetap tidak peduli. Dasar keras kepala. Jadi, aku biarkan kamu seperti itu. Ku perhatikan lebih jauh, ternyata kamu lucu juga. Kamu juga suka puisi. Lalu terkadang membacakan puisi untukku. Aku suka itu.

Aku suka suaramu. Aku suka kehadiranmu. Aku suka dengan puisi buatanmu. Aku suka dengan sifatmu yang aneh itu. Aku suka kamu. Pada akhirnya, kamu menang. Dan aku yang kalah. Tapi, tak apa. Aku merasakan kebahagian. Terima kasih untuk warna-warna yang kamu berikan padaku. Aku harap kamu bisa selamanya memberikan warna-warna itu. Daah. Aku malu sekali menuliskannya.

Si Gadis Jelita.

“Tunggu sebentar Gus–” aku berucap gagap saat Gusti menarik tanganku menuju Gadis yang sedang memakan bekalnya di kantin.

“Halah, biasanya kamu selalu ngegodain Gadis. Giliran Gadis menyatakan balik perasaan cintanya, kamu malah gagap! Tolol.”

Emang aku tolol! Gilaaaaaa. Aku takut banget untuk berbicara pada gadis sekarang. Kalau dalam keadaan begini benar-benar mentalku jadi cupu, dan penakut!

Aku berusaha keras supaya tidak terseret oleh Gusti yang kelihatannya lebih bersemangat dariku. Tapi tentu saja sulit! Karena Gusti sering olahraga jadi dia kuat. Sementara aku cungkring begini, busettttt.

“Jan! Ada yang mau bicara dengan kamu!” Gusti berteriak memanggil Jani. Waduh, kalian jadi tahu nama orang yang kusuka.

Lalu, saat kami sudah sampai di meja yang ditempati oleh Gadis dan kawan-kawannya, Gusti meninggalkan aku sendirian. Emang temen bangsat!

“Mau ngomong apa? Kelihatannya kamu gugup sekali.” Gadis berbicara dengan tenang.

Sumpahhh! Aku keringat dingin. Rasanya aku mau lari. Tidak beraniiiiiii, tolonggg akuuuu ibuukkk!

Gadis menaikkan alis melihatku tak berbicara sama sekali. Aku heran, kenapa dia bisa tenang-tenang aja, sih? Apa emang aku yang terlalu lebay? Masalahnya perasaan sukaku ini berbalas, ya masa aku tidak ketar ketir?

“Jadi, em begini surat jadi kan kamu nulis surat terus bakso tumpah eh.”

Aku terdiam. Kenapa juga tiba-tiba bakso ada di kepalaku?

“Pelan-pelan saja bicaranya. Kamu biasanya lancar sekali kalau bicara denganku. Sekarang jadi gagap begitu.” Gadis menenangkan.

Aku mencoba untuk menarik napas dan membuangnya. Kuulangi hal tersebut berkali-kali sampai aku tenang dan mulai bicara.

“Jadi, aku tadi sudah baca suratmu. Kamu bilang kamu juga merasakan hal yang sama sepertiku. Dan aku juga masih ingat kalau buku catatan itu mau kamu berikan kepada orang yang kamu suka.”

“Gadis… Kamu suka aku?”

Aku bertanya dengan hati-hati, aku takut salah paham dengan isi suratnya. Kalau tahu-tahu ternyata dia tidak suka aku… malu banget.

“Menurutmu?” Gadis bertanya balik, sepertinya dia malu karena pipinya memerah lucu seperti tomat yang sudah matang sempurna.

“Menurutku… Kamu suka padaku.”

“Yasudah. Kenapa bertanya lagi?”

Beneran suka ternyata anjir…. Gadis beneran suka padaku. Aku mimpi apa semalam sampai-sampai perasaanku terbalaskan begini? Gila!

“Ajak pacaran dongg!!!” Gusti menyahut dari meja seberang.

Berisik sekali dia.

“Bacot.”

Gadis berdehem menyadari diriku bahwa masih ada dirinya di sini.

“Maaf jani, bukan kamu yang bacot kok.”

“Terus siapa?” Dia melototkan matanya.

“Aku, aku yang bacot. Hehehe.”

Kuucap begitu saja, takut diamuk brooooo.

***

Berlanjut ke Bagian Dua: https://medium.com/@writerula/gadis-jelita-namanya-jani-5ab186abb5b3

--

--

Rula

suka nulis dan sedang belajar untuk menulis dengan baik.