Cendana Mahardika; Bagian Tiga,

Rula
5 min readJul 6, 2023

--

E Coli & Nama Teman Baruku, Gie.

"Gini deh saya kasih clue, nama bakterinya hal yang mungkin dilakukan oleh laki-laki, hurufnya C."

Hari ini kelasku ada ulangan harian biologi. Gusti menyeretku langsung ke kelas sebelum aku sempat membacakan puisi untuk Jani. Kambinggg deh si Gusti. Padahal kali ini aku membuat puisi sendiri untuk Jani, tapi malah diseret-seret untuk bantuin dia yang semalem lupa belajar.

Jadi aku terpaksa membantunya menghafal materi biologi secepat kilat sebelum guru yang mengajar masuk kelas. Tentunya aku minta sogokan dong. Aku minta dibelikan makanan kantin yang paling mahal. Tapi si Gusti malah bilang begini, "yaudah deh nanti ku traktir kamu, yang mahal juga paling-paling berapa sih?" Songong betul lagaknya itu. Liat aja nanti kukuras habis isi dompetnya!

Sekarang, dengan mata tertutup dan mulut yang berkomat-kamit macam pak dukun baca mantra, si Gusti berusaha untuk menghafal nama-nama bakteri dan aku memegang kertas untuk mengoreksi kalau dia salah sebut.

Gusti biasanya bodoamatan. Malah biasanya saat ulangan, dia buat contekan kecil sampai tulisannya tidak bisa dibaca, yang bisa baca hanya dia dan Tuhan YME. Tapi akhir-akhir ini dia jadi rajin. Katanya sih karena ada cewek yang dia suka.

Masa sih?

Tentu saja aku tak percaya. Paling-paling dia jadi rajin karena tak mau dilarang Ibunya lagi untuk main warnet.

Tapi ternyata si Gusti bener naksir cewek dong!

Contohnya sekarang ini. Di depan mejaku dan Gusti sudah ada cewek dengan rambut lurus yang sedang mengobrol dengan Gusti. Tentunya hafalan Gusti buyar. Yakali disamperin cewek yang dia taksir gitu terus hafalannya enggak buyar? Mana mungkin.

Aku saja kalau disamper Jani saat nugas langsung megap megap mau pingsan.

Agak lebay sih emang.

Sekarang si cewek lagi dadah-dadah, kayaknya dia mau balik ke kelasnya setelah menyemangati Gusti. Oh, benar si cewek balik tuh. Aku bersiap-siap membuat muka meledek. Ketika Gusti menengok kearahku, bibirku sudah monyong-monyong seperti mau mencium dia.

Ctak!

Suara tabokan kertas hafalan yang beradu dengan wajahku. "Ngapain lu?? Jijik woi!" Ucap si Gusti sambil tetap menabok wajahku lagi.
Sekarang kertas hafalan itu ada satu yang menempel di mulutku, karena tadi bibirku monyong-monyong begitu jadi ada yang nempel! Terpikir olehku buat menjahili Gusti lagi, tapi keburu ada Pak Mamat yang datang!

Yahh nggak seru. Aku nggak jadi nempelin kertas yang ada air liurku ke Gusti.

Kalau Jani tau aku punya sifat seperti itu gimana ya? Jani bakal ilfeel nggak ya sama aku?

Pertanyaanku terputus saat Pak Mamat menyuruh murid kelas untuk menaruh tas dan semua buku ke depan. Hanya boleh ada pensil dan penghapus saja di meja. Kalau ditemukan ada buku di kolong meja ataupun di atas meja, Pak Mamat akan merobek kertas ulangan kami.

Baru saja aku mau menaruh tasku ke depan, aku dikagetkan oleh Panji yang tiba-tiba membawa setumpuk buku dan kertas.

"Busetttt tebel banget, Ji?" Kataku refleks.

"Iya ini semua buku yang gue taro di kolong meja selama ini."

Ohh aku baru ingat. Panji memang kalau sekolah tidak membawa buku, tasnya juga ringan karena buku-bukunya sudah dia keluarkan dan ditaruh di kolong meja supaya enggak berat.

Kadang aku heran, memangnya tidak takut hilang kah? Atau gimana kalo diambil orang? Tapi Panji menjawab dengan lugas, "siapa juga yang mau maling buku pelajaran?" Ya betul sih. Siapa yang mau maling buku pelajaran?

"Kalian bisa mengerjakan ulangannya sekarang."

Begitu kata Pak Mamat.

Suasana kelas hening. Mungkin kalau aku kentut, suaranya akan menggelegar. Untungnya aku sudah berak dulu tadi sebelum sekolah, maklum deh rutinitas pagi! Kalian pasti pernah begitu, kan?

Aku sudah mengerjakan hampir semuanya, tersisa dua nomor lagi. Omong-omong soal yang diberikan essai. Nah, jawaban nomor sembilan sudah pasti nata de coco. Tinggal satu nomor lagi...

'bakteri apa yang hidup di usus manusia?' sebutkan satu.

Aku terbengong melihat soal itu. Aku jelas belum sempat berkenalan dengan para bakteri yang hidup di usus manusia. Aku mengeluhkan soal nomor terakhir ke Pak Mamat.

"Pak, nomor sepuluh kan ada banyak jawabannya pak. Saya belum kenalan sama para bakteri pak!"

Pak Mamat dengan tegas menjawab, "tapi sudah temenan belom sama mereka?"

"Gimana mau temenan pakkkkk, saya aja belum kenal. Bapak gimana deh." Ujarku kesal.

"Tapi pak, betul yang dibilang Dika. Nomor sepuluh jawaban yang pastinya apa pak? Mana cuma boleh satu jawabannya!" Ujar si cowok berkacamata mainan yang bentuk kacamatanya macem alien, namanya Mas Pandu.

Emang namanya begitu. Pakai 'Mas'

"Kasih jawaban pak."

Yeee si Gusti maunya langsung jawaban. Ya sama sih.

"Gini deh saya kasih clue, nama bakterinya hal yang mungkin dilakukan oleh laki-laki, hurufnya C."

Hal yang mungkin dilakukan oleh laki-laki???? Hurufnya C?????? Ngaco deh si bapak. Emangnya ada bakteri yang kayak gitu?

Terus sesaat setelah aku mikir lagi... Aku tiba-tiba teringat ucapan Gusti. Lebih tepatnya pertanyaan yang dia ajukan kepadaku, waktu itu dia pernah bertanya begini, "lu pernah coli, dik?"

Memang kambingg. Nanyain begituan kok ke aku!

Tapi terimakasih untuk Gusti yang pernah nanyain aku hal gituan. Sekarang aku bisa jawab soal nomor sepuluh, ha ha ha.

Jawabannya Coli! Lebih tepatnya, E Coli! Ha ha ha memang cerdas aku.

Selesai aku menuliskan jawaban dan memeriksa kembali semua nomor, aku dengan kerennya berjalan ke meja guru dan mengumpulkan lembar jawabanku.

Semua orang menatapku tak percaya karena aku tega meninggalkan mereka untuk satu soal yang masih membingungkan mereka.

Tentunya aku punya ide untuk menolong teman-temanku. Aku membuka pintu kelas, dan keluar kelas.

Lalu aku teriak di sepanjang koridor kelas, "EEEE COLIIIIII." Begitulah teman-temanku bisa menjawab soal nomor sepuluh.

Rujak. Aku sedang rujakan setelah melewati setengah hari untuk sekolah. Kali ini aku membawa teman baru, namanya Gie. Aku baru kenalan dengannya tadi, saat aku tidak bisa turun dari pohon mangga karena tangganya disembunyikan oleh Gusti. Kayaknya aku kena karma karena ngambilin mangga punya sekolah.

Namanya Gie. Soe Gie Maharadja. Tadinya kukira dia mengibul, soalnya dua kata nama depannya mirip seperti nama aktivis pencinta alam yang meninggal di gunung semeru itu.

Soe Hok Gie. Mirip dengan nama Gie, kan?

Tapi ternyata orangtuanya memang terinspirasi dari nama Soe. Duhh aku bingung sendiri menceritakannya. Gini deh, Soe untuk Soe Hok Gie dan Gie untuk Soe Gie Maharadja.

Pokoknya begitu! Nama aslinya Gie awalnya Soe Bagoes Maharadja, tapi karena Ayah dan Ibunya Gie ini pencinta alam makanya diganti deh namanya! Kalian bisa baca lengkapnya nanti di kisah Gie!

Hooo keren juga ya.

Sekarang aku sedang makan rujak bersama Gie tentunya dengan mangga yang berhasil kupetik di halaman sekolah. Rujaknya asal-asalan sih... Yang penting ada buahnya dan bumbu kacang yang kubawa spesial buatan Ibukku dari rumah.

"Gie, kamu suka naik gunung juga nggak seperti Ayah dan Ibumu?"

"Enggak."

Jawabnya singkat banget. Irit suara deh dia.

"Kenapa enggak suka?"

"Karena enggak mau."

Hooo begitu, toh. Lain kali aku akan ajak dia naik gunung.

"Gausah ngajak aku naik gunung." Ucap Gie dengan mata melotot.

Aku bingung dengan ucapannya, kok dia bisa tahu aku mau ngajak dia naik gunung?

"Niatmu sudah kelihatan dari wajahmu saja!" Kata Gie dengan kesal.

Memang wajahku kenapa sih?

Eh, Gie sudah buru-buru balik.

"Gieeeeee kita tetap temenan kan walaupun aku ngajak kamu naik gunung?" Suaraku agak keras supaya dia mendengar karena dia sudah berjalan agak jauh dari tempatku duduk.

Gie tidak menjawab. Tetapi dia memberikan tanda jempol sambil membelakangiku.

Artinya, kami tetap berteman. Terlebih lagi sepertinya dia mau diajak naik gunung bersamaku!

***

--

--

Rula

suka nulis dan sedang belajar untuk menulis dengan baik.